![]() |
Antrian mendapatkan minyak tanah (foto : ist) |
Seperti halnya, warga Pulau Miangas, Kecamatan Miangas, Kabupaten Talaud, dua bulan terakhir ini kesulitan mendapatkan minyak tanah. “Kami tidak tahu apa penyebab kesulitan ini, apakah karena mulai dikurangi subsidinya atau kesulitan angkutan. Tapi kondisi nyata yang terjadi saat ini adalah masyarakat tidak bisa mendapatkan minyak tanah,” kata Camat Miangas Steyven Maarisit.
Dia mengatakan, untuk mendapatkan minyak tanah, kebanyakan warga harus mencarinya hingga ke ibu kota kabupaten. Itupun, setiap liter warga harus membeli seharga Rp30.000 atau di atas harga dasar yang ditetapkan pemerintah.
Cara untuk mendapatkannya, kata dia, harus dengan sembunyi-sembunyi, karena takut tertangkap petugas karena alasan menimbun bahan bakar. “Jadi warga mengemas sedemikian rupa sehingga tidak bocor di tangan petugas. Itu dilakukan hanya untuk menggerakkan roda kehidupan masyarakat yang rata-rata nelayan,” katanya.
Apabila warga ingin mendapatkan bahan bakar minyak tanah, menurutnya, warga harus menempuh berjalan cukup jauh hingga belasan jam karena terbatasnya transportasi bolak-balik ke Pulau Miangas. “Untuk jadwal kapal dua pekan satu kali. Itupun harus memakan waktu 13 jam dari Pulau Lirung-Karatung-Pulau Miangas. Hanya sedikit warga yang melakukan perjalanan langsung untuk mendapatkan bahan bakar,” ungkap camat.
Karena kelangkaan bahan bakar, kata Steyven, kebanyakan nelayan sudah tidak melaut. Padahal, rata-rata hasil tangkapan nelayan digunakan untuk barter kebutuhan pokok dengan pedagang Filipina. Karena itu, dia berharap, pemerintah membangun sarana penampung bahan bakar di Pulau Miangas sehingga warga bisa mendapatkan minyak tanah dan bahan bakar lainnya dengan harga dasar yang ditetapkan pemerintah. “Kalau kami harus membeli satu liter minyak tanah seharga Rp30.000, ini sudah di luar batas kewajaran. Warga Pulau Miangas adalah bagian utuh dari wilayah Indonesia,” paparnya. [yg/mtr]
@
Tagged @ umum